Pages

Cari yang ada di Blog Ini

04 Desember 2008

Cita-cita,eh?! (2)

Sering kali kita dihadapkan pada pertanyaan2 aneh yang muncul di waktu yang salah. Misalnya: di saat makan, atau sholat, atau kerja, sholat, cebok, ngelepas kaos kaki, sholat, dst-dst.
Sebagian besar jelajahan pikiran kita itu timing-nya tepat di waktu senggangnya otak kita berpikir.

Jelas itu sangat mengganggu. Mengganggu, karena pertanyaan2 itu sama sekali gak bisa diingat sampai 'waktu untuk bertanya' itu tiba.
Tapi, ada satu yang masih bisa di ingat. Satu hal yang masih gua raba-raba ampe sekarang. Satu hal nyang jika dan hanya jika kita tanyakan keapda para sikolog atow sikiater--namun jangan sekali-kali nyanya sama dukun/orang pinter--kan ngabisin isi celengan kita setaun penuh. Satu hal itu: masa depan!
Masa depan. Hal remeh yang bahkan membuat ahli sarjana pun pusing dibuatnya.

Dua cara menyikapi cita-cita:
Bagi sebagian orang, cita-cita adalah sesuatu yang sangat vital. Primer untuk terpenuhi. Bagi golongan ini, cita-cita bagai ruh yang menelusup di kehidupan. Menurutnya, tanpa cita-cita manusia adalah seonggok daging yang hanya bisa berjalan tak tentu arah. Lebih baik mati daripada tak punya tujuan hidup. Tak punya cita-cita.

Sebaliknya, sebagian orang lagi yang sisanya, mereka itu tak mau ambil puyeng memilirkan semua itu. Gak ada bagi mereka sesuatu yang dapat dijadikan manfaat secara langsung sebab merancang dan mengusahakan untuk meraih cita-cita itu sendiri. Baginya, sesuatu yang didapat secara instan dan cepat tanpa susah payah bekerja keras adalah keniscayaan. Tiada yang lain. Oleh karena itu, hasil yang didapatnya pun hanya sekejap saja. Tak berlangsung lama.

Keduanya pilihan. Pilihan yang semua orang memilikinya. Punya hak atas itu. Mungkin untuk segelintir mereka yang tak punya sesuatu materi buat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi akan berkilah dengan enteng, "ah, kita mah urang ga punya. Mana mungkin bisa menyekolahin sampe insinyur gitu... mending kerja aja atuh..." atau komentar-komentar lain yang menyiratkan keputusasaan.
Dan itu juga hak. Mereka berhak memperjuangkan apa yang diyakininya. Gak bisa kita seenaknya memaksakan hal prinsipil ini kepada mereka. Yang bisa kita sebagai kaum nomor 1 adalah, membimbing mereka sepenuh hati untuk bisa meyakinkan dan mengubah pandangannya mengenai arti penting pendidikan. yap. Hanya sebatas mengarahkan. Karena keputusannya sudah berada di tangan-Nya.


(Hoho... dicukupkan ngebualnya..)

KE KE KE :-D

Tidak ada komentar: